Badai, mentari, di antaranya?
“Badai”
Bagi sebagian orang, kata “badai” memiliki konotasi yang identik dengan keburukan. Bencana. Keriuhan. Kacau.
Tidak salah.
Tapi bagiku kata tersebut memiliki dualisme arti.
Bagiku, badai tidak pantas jika selalu direlasikan dengan apa-apa yang telah kusebutkan di atas.
Aku baru menemukan (dan ditemukan oleh) badai yang berbeda.
Badai yang lembut. Badai yang membawa secercah cahaya, tidak — bukan secercah, lebih dari itu. Cahayanya terang sekali, sudah lama aku tidak dibanjiri cahaya seterang itu.
Berhiaskan lima warna berbeda: biru, merah, hijau, kuning, dan ungu. Semuanya saling terjalin menjadi pelangi lima warna. Berbahan bakar mimpi, asa, dan rasa sayang, pelangi-lima-warna menciptakan badai terhebat. Badai yang menghempaskanku keluar dari liang tak berujung.
Seketika dunia terasa lebih terang. Dan lebih baik.
Mungkin mereka bukan badai.
Mungkin mereka mentari?
Entahlah, mungkin di antaranya.
Maaf aku terlambat, ya. Tapi terima kasih, sungguh. Terima kasih telah ada, dan tetap ada.
20.09.07
Surat cinta kecil untuk Satoshi Ohno, Sakurai Sho, Aiba Masaki, Ninomiya Kazunari, dan Matsumoto Jun.
Terima kasih ARASHI. Terima kasih telah menjadi badai terhebat.
Hontou ni arigatou!